Malam semakin larut, hawa dingin pun kian
merenggut. Ini sudah malam kedua mataku menguras segala kenanganku. Kantung
mataku kian menggembung, sisa deraian air mata yang mengering, dan sesegukan
yang sekali-kali terdengar. Awan malam yang mendung tampak mengisyaratkan hati
yang di rundung pilu, penuh sendu. Angin bahkan tak segan-segannya mengiris
rusuk dengan ngilu.
Daun-daun berguguran didera tiupan angin, menggugurkan
daun-daun yang berjejer rapi di sekujur ranting-ranting pepohonan. Mungkin aku
ibarat angin yang tak terlihat, di suatu waktu dapat memberikan kesejukkan pada
rasa, namun di sisi lainnya menggugurkan dedaunan itu, membuatnya gugur lalu
terhempas, kemudian membumi.
Entahlah, ini kebodohan atau apa? Ah sudahlah... Toh tidak ada lagi yang perlu di jelaskan, semuanya telah jelas dan aku melukai nya, melukai dia yang aku beri dia harapan termanis ku, lalu aku hempaskan segalanya. Di lain sisipun akupun terluka, apalah daya, ini keputusanku, terbaik? Tak taulah, ambigu rasaku. Terbaik. Semoga.
---
“Nadia! katanya kamu dipinang yaa sama sahabat
kamu yang sejak kecil itu?” Aku diam saja tak memperdulikan.
“Tapi Nad, bukannya si Irvan itu deketnya sama
Nisa gak sih? Nisa kan sahabat kamu juga, bisa yaa kamu tega, dan bukannya kamu
punya pacar, siapa itu? Naahh sii Vino-Vino itu. Pacarannya kan sama Vino, kok
tiba-tiba nikahnya sama Irvan.”
“Hahaha, ya udahlah yaa, sekarang kan zamannya
teman makan teman, teman nusuk dari belakang.” Yang lain ikut menimpali. Aku
berdiri dengan wajah kesal, lalu berlalu tanpa sepatah katapun. Memang benar
adanya, aku egois? Ya, memang.
Aku dan Annisa adalah sahabat dari sejak SMP. Dia adalah seorang yang periang, suka
menularkan semangatnya, dan suka bercanda. Berbeda denganku yang pendiam, pemalu,
mudah kehabisan kata-kata, dan tidak pandai bercanda. Dia cantik, dan lagi dia
berhijab panjang, tak ada dalam niatnya sekalipun hendak ingin berpacar-pacaran
seperti yang lain, bersentuhan pun tak mau. Jika aku mengajak Irvan, sahabat lelakiku,
dia banyak protes, dan sepanjang jalan dia lebih banyak diam, sama seperti
Irvan, mereka tak berbeda jauh dari segi segalanya menurutku, berpenampilan
agamis, dewasa memang, usianya terpaut tiga tahunan dariku dan Nisa. Persahabatan
aku dan Nisa berlanjut hingga bangku perkuliahan, satu Universitas Islam, dan
berbeda Prodi. Aku sendiri memilih pendidikan Biologi, sedangkan Nisa memilih
Prodi Fiqh.
Beberapa minggu ini aku tidak bertegur sapa
dengan Nisa, karena terakhir kali kami berdebat hebat. Salahku, lagi. Dia
menasihatiku dengan baik. "Kau tau kan Nadia, bahwa pacaran itu di larang
dalam Islam, itu perintah Allah, ingatkan yang selalu ku ingatkan dengan QS.
Al-Isra' ; 32.” Lagi-lagi dia mengingatkan ayat itu. “Dan lagi, Vino itu bukan
laki-laki yang baik Nadiaa!"
“Tapi taukan dia gebetan aku sejak lama. Ya udah
deh pusing aku berdebat sama kamu, terserah toh aku sudah besar Nisa, aku tau
yang mana yang baik dan yang benar, bilang saja kamu iri padaku, secara Vino
kan ganteng, dan banyak fansnya, satu Universitas pun tau itu. Terserah kamu
deh Nisa, mau dukung atau nggak, intinya aku tetap sama Vino, dan aku harap
kamu gak usah ganggu hidup aku, dan gak usah sok-sokan selalu menceramahi aku.”
Lalu aku pergi tanpa membiarkan Nisa berkata satu kata pun. Aku putuskan tak ingin
bersahabat dengannya lagi, aku capek di larang ini-itu.
Sebuah pesan masuk,dari Nisa.
Nisa;Assalamu'alaikum Nad,
Nad aku bukannya iri atau apalah seperti yang kau sangkakan, aku mengingatkan saja. Memang itu pilihanmu, tapi pilihlah keputusan yang benar dan tepat, dan untuk memutuskan Vino untuk menjadi pacar adalah pilihan yang salah Nad.
Selain menjerumuskan mu ke jurang zina, kau juga melanggar perintah-Nya. Ku harap kau fikirkan baik-baik ya Nad.
Ana uhibbuki fillah.
Lagi-lagi Nisa. Biarkan saja.
Tiga bulan sudah aku berpacaran sama Vino, dan
tiga bulan pula aku memutuskan hubungan persahabatan ku dengannya. Video call masuk, Vino. “Iya sayang
tunggu sebentar ya.”
“Jadi, kamu ngekos disini yaa?”
“Iya sayang. Masuk aja yuk, di luar dingin.”
“Ya udah yuk. Ini kamu minum dulu,”
“Iya makasih.”
“Di minum dong sayang.” Tak lama kemudian kepala
terasa berat, mataku sangat terasa mengantuk, setelah itu aku roboh. Tak
sadarkan diri.
Aku terjaga, sinar mentari pagi membangunkanku. Aku
mencoba mengingat segalanya, aku tertidur semalam, tersadar bahwa aku di sebuah
kamar, di kosan Vino. Astaghfirullah,
ucapku dalam tangis, kulihat Vino di sebelahku. Aku bangunkan dia, lalu
langsung menamparnya, bersiap dan meninggalkannya.
Aku membanting pintu kamarku, menangis
sejadi-jadinya, bodoh-bodoh, bodoh sekali aku. Kenapa aku tak mendengarkan
nasihat Nadia, inilah hasilnya. Lalu bagaimana sekarang, Rahasia, ya Rahasiaku.
---
“Irvan, sebentar lagi kan Nadia sudah mau wisuda
tuh, nah udah saatnya lagi kita bicarakan lagi soal perjodohan yang sejak dulu
sudah ibu, ayah, dan juga kedua orang Nadia rencanakan untuk menjodohkan kalian
berdua.” Aku terpaku, bagaimana dengan Nisa, ucapku dalam hati. Aku tak bisa
mengelak ataupun memberontak, Nadia sendiri pun sudah ku anggap adikku sendiri.
Nisa? dia adalah pujaan hatiku, sejak lama mungkin kami pun memendam rasa dalam
lontaran harapan satu sama lain, tapi memang aku belum memberikan kepastian
padanya, aku yang ambigu dalam kepastian.
Ba'da isya aku dan keluargaku berangkat menuju ke kediaman Nadia, keluarga kami
seperti biasanya saling akrab satu sama lain, selang tak lama bercakap-cakap
kami membicarakan soal pernikahan, dan tanpa fikir panjang pun aku mengkhitbah
Nadia. Pernikahan akan di laksanakan hari Ahad.
Sesampai di rumah, aku langsung masuk ke kamarku.
Yaa… Tanpa ta'aruf, apalagi, lagi pula aku sudah mengenal Nadia sejak lama, bahkan
sejak kecil. Nisa? Bagaimana dengan Annisa? Tegakah aku mengatakannya? Ku ambil
ponselku dan langsung meneleponnya.
“Assalamu'alaikum,” Di mulainya. “Ada apa mas, kok
menelepon malam-malam?”
“Wa... Wa'alaikumussalam,” Jawabku mulai meragu.
“Nisa... Maafkan aku, aku harap kau melupakan aku, anggap saja tak pernah ada
harapan yang saling kita bangun untuk bersama, lupakan aku dan bangunlah harapan
dan impian bersama orang lain yang benar-benar memperjuangkan dirimu yang tak
seambigu diriku.”
“Maksudmu mas?” Tanyanya dengan nada bingung, dan
suara yang mulai parau.
“Lupakan aku Nisa, maafkan, karena aku membangun
mimpi bersama seorang yang lain, aku tutup ya. Assalamu'alaikum.” Aku telah
menghancurkannya. Ya Robb.
---
Tak ku duga, jika mas Irvan menyetujui pernikahan
dan perjodohan ini. Dan masalah malam itu, apa perlu aku mengaku saja dengan
mas Irvan? Tidak, nanti dia tak menerimaku bagaimana? Ya biarakan saja ini
selalu menjadi rahasia, sampai kapanpun. Lalu bagaimana dengan Anissa? Sebaiknya
aku beri tau dia tentang pernikahanku dengan mas Irvan.
“Halo, Assalamu'alaikum Nadia.” Suaranya
terdengar parau. “Apa mas Irvan sudah memberi taunya? Nadia? Nad, ada apa?”
“Ah iya, Wa'alaikumussalam Nisa. Sebelumnya aku
minta maaf yaa atas pertengkaran kita, dan beberapa bulan ini aku tidak menghubungimu
bahkan tidak mengunjungimu. Iya, tidak apa-apa kok Nad. Nis, aku juga minta
maaf, Ahad bulan depan besok aku dan mas Irvan akan melangsungkan pernikahan, ku
harap kamu datang ya, maafkan aku Nis, soal ini, … .” Lalu aku menjelaskan
semuanya, tentang perjodohan, dan sampai akhirnya mas Irvan mngkhitbahku, Nissa
diam saja hanya desahan nafas nya saja yang terdengar memburu. sampai akhirnya
dia menjawab satu kalimat. “InsyaAllah aku datang ya, Assalamu'alaikum.” Nissa
menutup teleponnya.
Ah, ini semua terjadi atas kebodohanku, yang pertama tak mendengarkan nasihatnya, hingga kehormatanku di renggut oleh laki-laki yang tak bertanggung jawab itu. Kedua, aku tak pernah membicarakan soal perjodohan ini sejak dulu, karena saat itu aku dan mas Irvan tidak mengerti apapun, dan akupun menganggap itu hanya lelucon orang tua kami berdua. Dan ketiga, aku telah mematahkan perasaan mereka yang begitu tulus, tanpa ada kicauan ungkapan perasaan cinta satu sama lain, yang ku tau memang keduanya menaruh harap dan rasa yang sama, maaf Nisa, maaf mas Irvan, maaf semua.
Yang aku takutkan adalah rahasia ini, sampai kapan tertutup serapat ini.
---
Nada dering ponselku berdering, Mas irvan. Tumben
semalam ini dia menelepon. “Assalamu'alaikum ada apa mas? Kok menelepon
malam-malam?
“Wa'alaikumussalam,” Jawabnya terdengar ragu. “Nisa
maafkan aku, Nisa maafkan aku, aku harap kau melupakan aku, anggap saja tak
pernah ada harapan yang saling kita bangun untuk bersama, lupakan aku dan
bangunlah harapan dan impian bersama orang lain yang benar-benar memperjuangkan
dirimu yang tak seambigu diriku.
“Maksudmu mas?” Tanyaku dengan nada bingung, selaksa
air mataku mulai mengalir. Suaraku pun terdengar parau.
“Lupakan aku Nisa, maafkan, karena aku membangun
mimpi bersama seorang yang lain, aku tutup ya. Assalamu'alaikum.” Butiran air
mataku kian menderas, dan aku merasa baru saja aku mendengar guntur yang keras,
dan aku ingin menutup telingaku rapat-rapat, tak ingin mendengar kenyataannya. Jahat,
bahkan tanpa alasan. Aku tergagu.
Beberapa jam kemudian ponselku kembali berdering,
kali ini Nadia. Ku hapus air mataku dan ku hirup sebanyak oksigen berharap tak
ada suara parau yang keluar. “Halo, Assalamu'alaikum Nadia,” Tak ada jawaban, selang
beberapa menit kemudian aku memanggilnya, lagi. “Nadia... Nad, ada apa?”
“Ah iya, Wa'alaikumussalam Nisa,” Jawabnya
sedikit tergaguk. “Sebelumnya aku minta maaf yaa atas pertengkaran kita, dan
beberapa bulan ini aku tidak menghubungimu bahkan tidak mengunjungimu.
“Iya, tidak apa-apa kok Nad.”
“Nis... Aku juga minta maaf, Ahad bulan depan
besok aku dan mas Irvan akan melangsungkan pernikahan, ku harap kamu datang ya,
maafkan aku Nis, soal ini, …” Lalu Nadia menjelaskan semuanya, tentang
perjodohan, dan sampai akhirnya mas Irvan mngkhitbahnya, aku diam saja hanya
desahan nafasku saja yang terdengar memburu, inilah alasan mas Irvan pergi
tanpa alasan padaku, ini jawabnnya.Ya Rabb. “Insya Allah aku datang ya, Insya Allah.”
Kututup teleponnya.
Ah, mengapa rasanya sesakit ini. Mungkin kah aku terjebak dengan harapan semua yang ku buat? Ya Robb, harusnya tidak ada harapan yang ku tanam, salahku Ya Robb, aku telah menggantungkan harapan kepada selain-Mu. Pahit.
Segala kenanganku, aku rakit lalu mengurasnya,
semuanya ku harap ia mengudara lenyap seketika. Aku harus ikhlas, aku harus
mencari tema lain untuk aku tuangkan dalam Do'aku, bukan tentangmu lagi, Tuan. Begitu
aku menyebutnya, Tuan. Aku lelah berargumen dengan fikiranku, dan terlelap.
Alarm berbunyi seperti biasanya, pukul 02:35. Aku
membuka mataku, kepalaku pusing, sepertinya aku terlalu menguras air mataku. Aku
mencoba mengingat semuanya, dimulai dari mas Irvan, hingga pembicaraan dengan
Nadia. Berat memang rasanya, dan lagi ini luka terhebat yang pernah aku
rasakan. Sudahlah fikirku. Aku bangkit, berwudhu, dan menyelesaikan dua
rakaatku, lalu berdo'a dan mengadukan semuanya, dengan harapan ikhlas, dan
secepatnya Allah kikis rasa ini, bahkan rindu ini.
---
Mentari pagi bersinar, kicauan burung terdengar, bagai
senandung alam nan cita. Hari Ahad, Yaa... Pernikahanku dan Nadia, Ya Allah
mudahkan.Nissa, ah nama itu memang tak pernah absen dalam dengungan fikiranku. Rindu,
aku merinduinya, aku merindui Nissa. Ku ambil ponselku, ini yang terakhir kau
berkata rindu padanya, yaa harus. Aku ambil ponsel ku, ku klik kontaknya,
An-Nissa.
Anissa;
Assalamu'alaikum Nissa, maafku untukmu yang entah berapa kalinya, apa kabarmu? Ku harap kau baik-baik saja.Btw, aku rindu. Hahaha... aku tidak tau diri yaa, bisa-bisanya aku berkata rindu. Tapi aku tak peduli, aku janji ini yang terakhir kali. "Aku Rindu Kamu, Nona."
Klik... Send
message.
---
Seprai Pink, ku bungkus dengan warna kertas kado
yang sama, bergambar teddy bear, warna kesukaannya, dan motif gambar yang
disukanya. Tak lupa ku selipakan sebuah kertas kecil, sebagai kartu ucapan."Selamat dan berbahagia dengan
kehidupanmu yang baru ya (: . Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah,
warohmah. Aamiin Ya Rabbal Alamiin. By;An-Nisa' (:”
Aku keluar kamar, dan memanggil sopirku. “Pak Darto, tolong antarkan ini ke alamat Nadia ya.”
“Loh kok Nak Nissa ndak pergi ke acaranya Nak
Nadia?” Tanyanya dengan logat khas jawa nya. Aku tersenyum, “Hari ini Nissa mau
packing Pak, besok kan Nissa harus berangkat Pak.”
“Oh iya, baiklah.”
“Suwun ya!” Ucapku.
Ponsel ku berdering, Pesan. Mas Irvan?
Mas IrvanAssalamu'alaikum Nissa, maafku untukmu yang entah berapa kalinya, apa kabarmu? Ku harap kau baik-baik saja.Btw, Aku rindu. Hahaha... Aku tidak tau diri yaa, bisa-bisanya aku berkata rindu. Tapi aku tak peduli, aku janji ini yang terakhir kali. "Aku Rindu Kamu, Nona."
Sesak. Itu yang kembali aku rasakan. Ah, kau tau
Tuan?. Aku berusaha keras untuk menikam setiap kali kerinduan itu datang, sampai
akhirnya aku tabah dalam rasa, "Rindu." Yaa... Sejak kejadian terluka
hebat itu, aku mencoba memulai keberanian untuk memasrahkan semuanya, bahkan
mengikhlaskan. Biarlah rindu ini ku rasa, tak bertuan, tak apa.
---
Senin,
Sepanjang perjalan menuju bandara hujan deras mengguyur. Alam ini, pemandangan ini, bau rumput ini, udara ini, bahkan hujan ini, berhenti.
Ah, Hujan baru saja selesai, begitupun dengan
cerita yang telah usai.
~Selesai~
____________________
Pengirim: Sella Amelia
Kontak
-. Email: sa2666142@gmail.com
Komentar
....^^