“Sal, pass bolanya ke sini!” Teriak Mujib dari dekat jaring basket di
pinggir lapangan.
Waktu sudah menunjukkan pukul
17:52, pembiasan cahaya jingga matahari yang sedang tenggelam cukup membuat
suasana bermain Faisal dan Mujib menjadi tenang. Ditambah lagi dengan usainya
hujan di sore hari, membuat sejuk sekeliling halaman sekolah. Di hari Kamis ini
Faisal dan Mujib tidak pulang ke rumah terlebih dahulu setelah belajar di
sekolah seharian penuh, mereka meluangkan waktu bersama untuk bermain basket
sembari menunggu waktu maghrib tiba. Bukan hanya mereka berdua saja yang berada
di sekolah hingga sekarang, ada beberapa anggota Rohis dan seorang guru yang
sedang melakukan berbagai aktifitas di teras masjid sekolah, tak jauh dari
lapangan basket.
Faisal memberi bola kepada Mujib,
seketika Mujib melompat tinggi dan menghantam jaring dengan bola. Slam Dunk berhasil Mujib lakukan dengan
sempurna! “Wah Jib, ngga nyangka aku udah semanis ini teknik mainmu.” Puji
Faisal.
“Hehe, baru aja belajar kemarin
Sal aku.” Balas Mujib.
Mereka berdua pun duduk dan
beristirahat sejenak di kursi dan mengeluarkan bekal untuk disantap saat
berbuka puasa sebentar lagi. Faisal dan Mujib baru saja bergabung ke dalam
organisasi Rohis di sekolahnya, setelah mereka taubat. Terlihat dari 3 peci
nasional berlogo Rohis Al-Firdaus SMAN 35 Tenggarong yang mereka simpan di
dalam tas Mujib, kondisinya masih mulus seperti baru dibeli beberapa jam yang
lalu.
“Jib, beli apa aja kamu di kantin
tadi siang?” Tanya Faisal.
“Yaa cuman beli ini aja sih.”
Jawab Mujib sambil menyodorkan bekal yang ia punya. “Ada es cendolnya Mbak
Wina, sama roti 2 bungkus.” Terangnya.
“Minta rotinya 1 boleh? Tadi mau
beli kayak gitu tapi kalah cepat sama Anggita di kantin.”
“Ciyeeeee, dapet kode keras
artinya tuh Sal. Ucap bahasa tubuhnya, ‘Tolong khitbahin ana setelah lulus
SMA.’ Hahaha!”
“Etdah, gombal aja aku terus.”
Balas Faisal yang disertai pukulan dengan memakai salah satu peci nasional
Rohis dari mereka.
Tiba-tiba, sebuah kartu pelajar
jatuh dari dalam peci tersebut. “Andra” namanya.
Sontak Faisal pun mengambilnya
dan melihat kartu pelajar yang jatuh tersebut. “Jadi ingat Andra aku, Jib.”
Ucap Faisal dengan nada yang polos, kurang bahagia.
“Iyaa Sal, aku juga. Ngga nyangka
kita bisa jadi begini sekarang, dan kehilangan salah satu teman yang udah membawa
kita menjadi sejauh ini.”
“Qodarullah, Jib. Kita ngga bakal
bisa begini kalo bukan karena skenario kehidupannya Allah.” Timpal Faisal yang
disertai dengan senyum manisnya.
Mereka berdua pun mengenang
kembali masa-masa itu.
----------
Saat kelas 1 SMA dahulu, Faisal,
Andra dan Mujib ialah siswa yang sering bermain basket. Mereka bertiga menjadi
terkenal sejak bergabung dengan OSIS dan ekstrakulikuler basket yang ada di
sekolahnya. Tak jarang siswi-siswi dari temannya sendiri hingga kakak senior ngefans dengan mereka, namun mereka
hanya berfokus kepada 1 siswi saja yang disuka. Namanya Anggita, dia juga
anggota OSIS dan ekstrakulikuler basket sekolahnya. Tubuhnya yang tinggi,
rambut terurai panjang saat bermain basket yang disertai kostum basket bernomor
punggung 7, serta teknik bermainnya yang sempurna membuat Faisal, Andra dan
Mujib jatuh hati kepadanya. Sayangnya. Namanya juga laki-laki pasti ada-ada
saja pikiran aneh-aneh di benak mereka, terlihat saat mereka bertiga
menceritakan Anggita di kantin sekolah dengan wajah mupeng (muka pengen).
Tapi, semua itu berubah di saat
mereka sudah memasuki tahun ajaran baru.
H-2 sebelum ajal Andra tiba.
“Kakakku meninggal, sob.” Ucap
Andra yang disertai dengan lelehan air mata dari kedua matanya. Hanya ada
mereka bertiga saja di kelas, keinginan Faisal dan Mujib untuk jajan di saat
jam istirahat tertahan karena ungkapan Andra yang membuat mereka kaget.
“Kok bisa, Ndra?” Tanya Faisal
dengan agak sedikit gemetar.
“Kakakku awalnya pacaran, terus
ngga lama mereka melakukan hubungan intim di rumah kosong sebelah rumahku.
Selesai hubungan dia langsung meninggal.” Jawab Andra.
Faisal dan Mujib kaget, tidak
seharusnya perihal ini menjadi bahan perbincangan bagi mereka bertiga. Tapi
apalah daya Andra sudah terlanjur membongkarnya.
“Ibu benar-benar kecewa dengan
kelakuan bejat kakakku. Padahal dari dulu kami selalu dinasehatin untuk selalu
bertakwa kepada Allah. Tapi kami ngga mau dengar. Dan akhirnya salah satu dari
kami diazab, selanjutnya bisa jadi aku. Sudah! Aku ngga mau lagi berurusan
dengan cewek-cewek, kayak Anggita. Ntar kalo khilaf bisa aku bawa dia ke WC
sekolah.” Tegas Andra. Mujib yang tengah mendengarkan
ungkapan Andra dari tadi sudah menjaga pintu kelas agar bisa memantau jika ada
seseorang yang nguping dari luar atau
masuk ke dalam kelas.
Mereka bertiga terdiam, seperti
menyadari apa saja yang telah mereka lakukan. Bel sekolah berbunyi, siswa-siswi
pun masuk ke dalam kelas masing-masing. Suasana pun kembali kondusif, namun tidak
dengan hati mereka bertiga. Gelisah dan kebingungan menyelimuti diri, di saat
guru sedang memberi penjelasan di mata pelajarannya mereka sering kena tegur
karena terlalu banyak melamun.
“Kalian kenapa kok begini?
Tumben?” Tanya Imam di saat kelas baru saja bubar untuk pulang.
“Ngga apa-apa.” Jawab Andra,
mereka meninggalkan meja belajar bersama-sama dan menuju pintu kelas untuk
pulang.
“Jangan lupa istighfar ya!” Balas
Imam yang disertai senyum khas darinya.
Mereka bertiga hatinya bergetar
di saat Imam sang aktivis Rohis itu memberi saran seperti itu, yang membuat
kejernihan otak mereka semakin memburuk. Di sepanjang jalan pulang mereka
selalu disahuti oleh siswi-siswi “genit” untuk berkomunikasi dengannya, hingga
bermain basket bersama. Namun mereka mengabaikannya, hingga siswi-siswi itu
menyadari bahwa mereka bertiga sedang memiliki jiwa yang kurang sehat.
Tiba-tiba pinggang Faisal terkena bola basket dengan pelan, arah pandangan
mereka bertiga pun menuju kepada bola itu. Tidak lama ada seorang wanita yang
mengambil bola itu, yang letaknya 1,5 meter agak jauh dari mereka bertiga.
“Afwan, Faisal. Ana ngga sengaja.” Ucap perempuan itu.
Mereka bingung, mereka tidak bisa
berkata-kata terhadap siapa perempuan tadi itu. Tampaknya sudah tidak asing
lagi, dilihat terus-menerus ternyata benar saja kalau itu benar-benar dia. Ya,
Anggita benar-benar berubah! Sekarang tampangnya jauh lebih anggun dan terjaga,
mirip Bu Aisyah guru agama Islam mereka. Anggita yang sedang memakai seragam
SMA yang dilabuhi dengan khimar tebal segi empat yang panjang hingga menyentuh
bawah perut serta pin Rohis Al-Firdaus yang ia kenakan untuk menjepit bagian
khimarnya itu membuat hati Mujib tergerak untuk bertaubat. “Anggita udah
taubat, ngga ada lagi yang bisa aku sayangi diam-diam. Mending tobat aja aku,
daripada ketimpa nasib kayak kakaknya Andra.” Ucap Mujib di dalam hati.
H-1 sebelum ajal Andra tiba.
“Sal, gabung Rohis kuy.” Ajak
Mujib.
“Kuy, aku pengen jadi baik juga
nih.”
“Tapi tunggu Imam datang ya,
pagi-pagi begini biasanya dia sholat Dhuha di masjid sekolah.”
“Eh tapi ini ngga apa-apa kan
kita gabung sekarang? Ntar dikira kita masih kelas 1 SMA lagi,”
“Udah deh ngga apa-apa. Asal niat
kita baik, Allah bakal mudahkan kok.” Ucap Mujib dengan senyumnya yang
menenangkan hati.
Andra pun tiba di kelas, mereka
berdua menghampiri Andra untuk mengajak bergabung dengan Rohis. “Ndra, gabung
Rohis kuy!” Faisal membuka perbincangan.
“Nanti aja deh kapan-kapan sob,
aku masih terlalu kotor dan banyak dosa buat gabung di komunitas suci kayak
gitu.” Jawab Andra dengan polos.
“Yaelah Ndra, pake dalih itu
segala lagi. Udah deh gabung aja, kita berdua mau gabung lho!” Ajak Mujib.
Andra pun tutup mulut selama beberapa detik, tidak mau berbicara apa-apa.
Perbincangan pun terputus karena bel masuk sekolah telah berbunyi. Pembelajaran
pun dimulai.
Jam istirahat pertama pun tiba,
Mujib dan Faisal mendatangi Imam yang sedang membaca Al-Qur’an di pojok kelas.
“Assalamu’alaykum, Mam. Maaf nih mengganggu. Kira-kira boleh tidak kami
bergabung dengan Rohis?” Mujib membuka obrolan.
“Eh!” Imam sedikit kaget.
“Wa’alaykumussalam Warahmatullahi Wabarakaatuh, boleh boleh.” Jawab Imam
sembari menutup mushafnya. “Kamu berdua aja kah yang mau ikut nih? Atau ada
perwakilan lagi?” Tanya Imam dengan penasaran.
“Ada, Andra juga.” Ucap Faisal dengan nada rendah, khawatir
didengar oleh Andra.
“Okelah kalo begitu, ayo ikut aku
ke masjid sebentar. Ada sesuatu buatmu.” Ajak Imam, dan ia beranjak pergi
menuju masjid sekolah. Faisal dan Mujib pun mengikuti.
10 menit berlalu, Imam, Faisal
dan Mujib tiba di kelas dan seketika menghampiri Andra yang sedang termenung
pucat. “Andra! Selamat datang di Rohis Al-Firdaus!” Ucap Mujib dengan bangga.
Andra yang sedang duduk tiba-tiba berdiri dan memukul meja. “Apa maksudnya ini?
Aku udah bilang jangan sekarang gabungin aku ke organisasi suci itu!” Teriak
Andra. Siswa-siswi yang berada di kelasnya serta kelas sebelah mengerumuni
sumber suara. Dengan segera Imam menenangkan suasana dan membubarkan massa.
Perbincangan Imam dan Andra pun dimulai.
“Andra, aku sudah tau apa yang
udah terjadi selama ini. Faisal dan Mujib udah menjelaskan semuanya. Aku tahu
saat ini hatimu sedang gelisah dan gundah gulana, berjalan tanpa arah seperti
daun yang gugur tertiup angin. Ngga ada salahnya buatmu untuk bergabung bersama
Rohis, siapa tau kamu bisa mendapatkan jalan yang terbaik untuk menempuh kehidupan
masa depan yang jernih pula di dalam lingkaran Rohis.” Imam berceramah kepada
Andra. Mujib, Faisal, dan teman-teman lainnya menyaksikan.
“Tapi aku ngga mau gabung
sekarang, Mam. Aku ngga pantas bergabung dengan mereka yang sudah nampak suci,
sedangkan aku berlumuran dosa. Pantas di neraka.” Andra menyela, dengan nada
ingin menangis.
“Istighfar, Andra. Sebagai
seorang Muslim kita jangan pernah beranggapan kayak gitu. Ngga semua anggota
Rohis itu suci, dan ngga semua orang kayak kamu itu pantas di neraka. Semua tergantung
kepada ketetapan Allah. Andra tau Somat? Dulu dia bandar narkoba kelas kakap
sejak SMP, namun sekarang dia menjadi qori terbaik se-Kalimantan Timur. Aku
juga dulu hampir sama kayak kamu, aku penikmat minuman beralkohol dulu. Atas
izin Allah, aku menjadi pengurus masjid dan menjadi imam masjid rutin di tempatku
dan sekolah ini. Ingatlah, Andra. Laki-laki yang sudah menzinahi 99 orang atau
membunuh 100 orang pun akan Allah putar alurnya dan menjadi laki-laki penghuni
surga, jika Allah menghendaki. Semua itu bisa terjadi, salah satu tandanya yaitu
dengan masih diberinya nafas untuk bisa hidup di keesokan harinya. Andra ada
kepikiran ngga kalo besok udah mati?”
Andra menggelengkan kepala.
“Itu tandanya, bahwa Allah sayang
sama kamu Andra. Allah masih memberikan kamu kesempatan untuk kembali bertaubat
kepada-Nya. Jangan disia-siakan, kesempatan belum tentu datang untuk kedua
kalinya. Mulailah perbaiki hubunganmu dengan Allah, karena kamu membutuhkan-Nya
sebagaimana kapal layar yang membutuhkan angin untuk bergerak di tengah
samudera.”
“Iyaa. Makasih Imam atas
nasehatnya.” Ucap Andra, yang dibarengi dengan pelukan persahabatan yang sangat
erat. Deraian air mata dari siswa-siswi yang berada di kelas tidak bisa ditahan
lagi, sepertinya momen ini sangat berkesan dan langka dalam suatu kehidupan.
Namun memiliki 1001 makna yang memiliki bermacam-macam penafsiran. Tiba-tiba
saja bel masuk sekolah berbunyi, semua pun bubar dan kembali ke tempat duduknya
masing-masing.
Kehidupan mereka bertiga berubah
180 derajat, sekarang mereka mulai taat dalam menjalankan ibadah. Sholat 5
waktu sudah tidak mereka tinggalkan, membaca Al-Qur’an pun juga begitu.
Hari dimana ajal Andra tiba.
Hari ini ada pelajaran agama
Islam, Bu Aisyah lagi yang mengajar kelas mereka. Di saat sesi diskusi, Andra
bertanya.
“Bu Ustadzah, mau nanya.” Andra
mengangkat tangan.
“Silahkan.”
“Bu, apakah benar apabila kita
punya dosa sebesar apapun Allah bakal mengampuninya?”
Bu Aisyah diam sejenak. “Iya,
benar. Walaupun sudah berzina 99 kali atau
membunuh 100 orang pun akan Allah ampuni dia dan menjadi penghuni surga, jika
Allah menghendaki. Semua itu bisa terjadi! Kita datang dengan dosa seluas
negara Indonesia, Allah datang membawa rahmat dan kasih sayang seluas lautan.”
Jawaban Bu Aisyah membuat Andra diam, ucapan beliau mirip dengan ceramah Imam
kemarin. “Jadi anak-anak semua, jangan remehin orang-orang yang rajin
bermaksiat ya. Karena kita belum tau bagaimana nasib kita kedepannya, bisa jadi
orang yang berlaber ustadz tapi malah bermaksiat kepada Allah.” Terang Bu
Aisyah kepada semua siswa-siswi.
“Iyaaa, Bu.” Sorak satu kelas.
Kehidupan mereka bertiga sudah
tidak lepas lagi dengan rutinitas sebagai anggota Rohis, Andra semakin hari
semakin bersemangat dalam menempuh hari-hari sibuknya. Sayangnya itu tidak
bertahan lama, karena hari ini ialah pertemuan Andra dengan semua warga sekolah
yang terakhir.
Waktu menunjukkan pukul 14:30. Faisal,
Mujib dan Andra membeli beberapa buku keislaman di toko buku Ar-Rahman di desa
Piso, sebelah kampungnya Mujib. Baru saja keluar dari toko, sekitar 10 orang oknum
bersenjata serta berkostum hitam anti-peluru lengkap muncul dari portal desa,
menembak satpam yang sedang berjaga di pos. Suara gemuruh tembakan dan
reruntuhan pos jaga di samping portal membuat heboh satu desa, dan panik
menyelamatkan diri. Mereka bertiga bersembunyi di balik dinding toko buku
tersebut. “ALLAHU AKBAR!” Teriak seorang petani tua bercelana cingkrang dan
berjenggot tebal yang sedang membawa sepedanya yang mengangkut buah hasil panen
kebunnya. Petani tua itu mengayuh sepeda dengan kencang, namun sayangnya 3
peluru senapan M4A1 lebih dahulu mendarat masuk ke dalam jantungnya. Beliau pun
tersungkur dan tewas seketika. Buah-buah hasi panen bergelinding di tengah
jalan, beberapa oknum tersebut memakannya. Seketika Andra memecahkan
konsentrasi Faisal terhadap nasib petani itu dan melarikan diri, dan benar saja
oknum itu mengejar mereka bertiga.
Sejauh mereka lari, sudah banyak
kekacauan yang terjadi di tengah desa. Kebakaran, reruntuhan, jasad di tengah
jalan, barang dirampas, dan lain sebagainya. Mujib bertemu dengan selokan
kering yang cukup dalam untuk bersembunyi, Faisal pun ikut memasukinya.
Namun tidak dengan Andra.
“Ndra, masuk!” Lirih Faisal.
“Kalian sembunyi aja, masih ada
yang aku perlu selamatkan.” Tegas Andra. Dan ia bersembunyi di balik reruntuhan
gedung dekat dengan selokan.
Seketika Faisal dan Mujib tengok
dari dalam selokan ada seorang anak laki-laki yang didatangi oleh 2 orang
bersenjata itu dan menodongnya. “MANA IBU BAPAKMU?” Teriak salah satu dari
mereka. Berulang kali pertanyaan itu terlontar tapi anak laki-laki itu tetap
menampakkan wajah marah dan tidak takut dengan ancaman dari mereka. Dengan
menggunakan pecahan kaca spion motor, mereka menyaksikan adegan pilu tersebut.
Tiba-tiba saja Andra datang dengan mengendap dari belakang, menghantam oknum
tersebut hingga tersungkur tak berkutik dengan besi reruntuhan bangunan yang ia
jadikan tempat sembunyi. 1 orang tewas.
Karena sadar telah dilawan, anak
laki-laki tersebut dibiarkan saja lepas dan kelompok itu mengarahkan
konsentrasinya kepada Andra. Faisal dan Mujib kaget, dan memasrahkan semuanya
kepada Allah dengan sedikit berharap semoga Andra selamat. Andra dengan sigap mengeluarkan
belati dari punggungnya dan menyayat silang orang yang tersisa tersebut. Tampak
darah segar mengalir dari dada hingga perutnya, Andra telah berhasil. Oknum
yang tersisa di tempat telah tewas! Andra menengok anak kecil tadi dan ia
tampak baik-baik saja. Andra bersyukur, sayangnya
ia tak selamat. Andra tertembak, tepat mengenai dada kanannya. Rupanya dari
ujung kejauhan sana ada 1 unit sniper yang
dari tadi menyaksikan pertarungan antara Andra dan 2 temannya. Andra pun
memegang keras dadanya yang tertembak. Semakin lama, semakin tertunduk, hingga
bertutut, pada akhirnya tersungkur. Anak laki-laki itu lari entah kemana,
sepertinya ayahnya menjemputnya. Faisal dan Mujib seketika menyelamatkan Andra
dengan menyeretnya ke dalam selokan sebelum sisa oknum yang masih hidup itu
tiba, untung saja letak jatuhnya tak jauh dari selokan. Semakin lama, semakin
terdengar suara berlarian sepatu ala tentara, semakin dekat pula kami akan
diteror. Rupanya Mujib mengetahui bahwa di selokan ini terdapat jalur rahasia
yang dapat tembus hingga menuju ke kampungnya Mujib. Mereka kabur dengan
seketika.
Di ICU Puskesmas,
“Astaghfirullah.” Ucap Mujib.
“Kenapa semua jadi begini?” Tanya
Faisal. Tidak ada yang menjawab, semuanya hening.
Ibunya Andra pun tiba di ICU.
“Ya Allah, nak! Kenapa bisa kamu
begini?” Tanya Ibunya Andra.
“Y..y.yaaaa begitulah bu.
Namppppaknya ada orang yang udah ngga s…s.suka dengan Islam. Tapi wajar aja,
k.k.k…..kkiamat sudah dekat.” Jawab Andra dengan nada sangat lirih. Paru-paru Andra
sudah bolong dan tidak besar kemungkinan hidup Andra berlanjut. Dan Andra pun
akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan damai.
“I….ibu, aa.aa…a.aku punya wasiat.”
“Apa itu nak?”
“Asyhadu….. Alla….. Ilaaha…..
Illallah….. Wa asyhadu….. Anna….. Muhammadar…..rasulullah.” Wasiat Andra. Alat
pendeteksi detak jantung seketika bergaris lurus, suara bip mesin sudah tidak
berpola. Semua nampak hening lagi, setelah kalimat tarjih bersama-sama
diucapkan. Dokter menutup perlahan kain selimut yang menutupi dada Andra ke
wajahnya. Semua nampak tenang, hanya tangisan sedikit saja, tak histeris. “Semoga
ini bisa menjadi penangkal dosa dari kakaknya.” Ucap Ibunya Andra dengan air
mata bahagia.
Ternyata Allah sudah terlalu
sayang dengan Andra, sehingga Ia dengan segera mencabut nyawanya. Khawatir jika
melakukan maksiat lagi.
Malam ini, Faisal bertamu ke
rumahnya Mujib. Mereka tidak sengaja menyaksikan “Breaking News” dari salah satu stasiun televisi.
“Pemirsa, setelah sekian lama agen-agen rahasia negara mencari lokasi dimana tumbuhnya ajaran-ajaran radikalisme yang dapat mengancam negara Indonesia ini, akhirnya mereka mendapatkan informasi dimana tempat itu berada. Ketua tim KPR (KeDotAan Penghapus Radikalisme) Mr. Viper mengemukakan bahwa tempat sarang teroris tersebut berada di desa Piso. Dengan gagah berani Mr. Viper langsung memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi semua orang yang berada di desa tersebut, membakar buku-buku, serta merampas senjata mereka agar dapat mengantisipasi genjatan senjata. Dari hasil penghabisan lokasi, telah ditemukan 2 anggota destroyer yang tewas di tempat berlumuran darah. Berdasarkan dari informasi Mr. Kardel, ada seorang anak remaja berumur 16 tahun berbaju putih, bercelana jeans cingkrang dan bersorban membunuh mereka dan ia berhasil menembaknya. Sayangnya jasad tersangka hilang di tempat, saat ia mendatanginya bersama pasukan yang lain. Anak remaja tersebut diduga ialah teroris hasil didikan militan Taliban kelas elite yang sengaja ditugaskan untuk membunuh destroyer yang ada, terlihat dari gayanya dan buku yang ia bawa saat … .”
Faisal dan Mujib terus menyaksikan
berita yang tidak sesuai dengan kenyataan tersebut dengan tenang, hingga mereka
merasa bosan karena dagelan kehidupan dunia yang membuatnya pusing. Dan mereka
memutuskan untuk mematikan televisi.
“Kenapa ya orang baik selalu
dijahatin?” Faisal bertanya.
“Karena masuk surga itu ngga
gampang, Sal. Hanya orang-orang terpilih aja.”
“Hmm, kayak ingat ucapannya Pak
Idries waktu di masjid tadi siang.”
“Yap, kayak gitu lah.” Tutup
Mujib. Faisal pamit untuk pulang, agar keesokan harinya bisa sekolah dengan
tenang.
H+1 setelah ajal Andra tiba.
Teman-teman Andra semua menangis,
begitu juga dengan siswa-siswi kelasnya yang sudah mengetahui sosok hebat
seperti Andra. Hingga kabar ini terdengar sampai seluruh anggota Rohis serta
staff guru, kantor, dan office boy. Mereka
yang iba dan tidak punya kesibukan sepakat untuk melayat ke rumah Andra setelah
sholat dzuhur. Seketika sekolah libur.
“In Syaa Allah, dia syahid.” Ucap
Imam.
“Semoga. Karena dia rela
mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan anak kecil yang diancam sama mereka.”
Mujib menjelaskan.
Proses pemandian hingga
penguburan jenazah dibantu oleh teman-teman Rohis yang ikut ke rumahnya, tampak
langit berawan dengan cahaya matahari yang bersahabat membuat suasana
penguburan menjadi tenang. Ditambah lagi dengan letak kuburan massal yang dekat
dengan air terjun menambah ketenangan bagi siapa saja yang menikmatinya.
----------
15 menit berlalu, matahari sudah
terbenam. Cahaya biru tua menghiasi langit dengan tenang, setenang tatapan
Andra saat ajalnya tiba.
“Kira-kira, apa ya yang dia
lakukan di akhirat sana?” Tanya Faisal.
“Mungkin lagi mendengar kita
berdua cerita kali.”
“Hehe, atau mungkin dia lagi
bermain basket dengan tenang.”
Mereka melihat bola basket yang
tadinya dipakai untuk bermain, senyum pun menghiasi wajah mereka.
“Bisa jadi senja di lapangan
basket sekolah ini menjadi bahan perhatiannya Andra yang lagi menyaksikan
tingkah kita dari sana.” Canda Mujib.
“Hehe, aku harap kita bisa
bertemu kembali di surga-Nya.”
Kumandang adzan maghrib Imam
mulai terdengar, seluruh anggota Rohis yang berpuasa sunnah Kamis pun berbuka.
Tak terkecual Faisal dan Mujib. Setelah itu, mereka lekas pergi masuk ke dalam
masjid untuk sholat Maghrib berjamaah.
Komentar