Libur kuliah pun telah tiba,
mahasiswa yang berasal dari pelosok daerah pun mulai beranjak pulang dari
tempat rantaunya. Tak terkecuali aku, dari Samarinda menuju ke salah satu kota
kecil yang memiliki berbagai keindahan di dalamnya. Ya, aku pulang ke kota
Tenggarong. Tak jauh memang jarak tempuhnya, namun perjalanan kali ini cukup
membuatku penat hingga berhenti dua kali di warung pinggir jalan untuk
beristirahat. Maklumlah, setelah 3 pekan dikejar sama jadwal UAS dan tugas
dadakan dari beberapa dosen membuatku berhari-hari begadang untuk
menyelesaikannya.
Sebenarnya aku tidak ingin pulang
kampung karena beberapa sebab, salah satunya karena keluargaku yang benar-benar
menentang keistiqomahanku dalam beragama Islam yang benar. Dari dulu ada-ada
saja keluargaku menyinggung perasaanku. Ayah mengejek celana cingkrangku sampai
berprasangka bahwa aku mengikuti aliran tertentu, begitu juga dengan ibu.
Nasehat demi nasehat yang berpotensi menjauhkan diri ini dari syariat mulai
sering berdengung masuk ke dalam telingaku, menusuk hatiku dengan sangat dalam.
Aku punya adek, tapi sama saja dia, selalu mengejek fisikku. Pernah berfikir
untuk mendakwahkan mereka untuk kembali ke jalan yang benar, tapi bingung
bagaimana caranya. Keberanianku dalam mendakwahi mereka telah “disuntik mati”
sehingga membuatku tidak berkutik di rumah. Aku pasrahkan semua hanya kepada
Allah.
Selain tempat sholat, masjid juga
menjadi tempat pelarianku dari rumah. Kadang aku betah berjam-jam disana entah
apa saja yang dilakukan, seperti mengaji dan menghafal Al-Qur’an.
Oh ya namaku Iqbal, aku seorang
mahasiswa universitas ternama di Kalimantan Timur ini. Aku telah memasuki
jenjang semester 4, dan aku terkenal di kampus dengan keistiqomahanku dalam
beragama. Namun sayangnya tidak terhadap keluargaku. Aku juga suka online di
LINE, salah satu media sosial terpopuler saat ini.
--------------------
Hari ke-2 liburan, 05:46 WITA
Assalamu’alaykum, kakak Iqbal. :)
Layar HP yang terletak tak jauh
dari Al-Qur’an yang aku baca tiba-tiba menyala dan diiringi dengan suara
pemberitahuan chat masuk. Aku tengok
siapa pengirimnya, nampaknya aku sudah terlalu kenal dengan seseorang yang
telah mengirim salam kepadaku itu.
Wa’alaykumussalam Warahmatullah, dek Rain. :D
Balasku.
Namanya Anggeraini Raudhatul
Jannah, atau biasa dipanggil “Rain.” Entah kenapa teman-temannya senang
memanggilnya dengan sebutan unik seperti itu, hingga dosen pun memanggilnya
dengan sebutan yang sama pula. “Keren panggilannya, Iq. Saya pribadi suka
dengan suatu hal yang berbeda dari suatu individu seperti dia. Hehehehehe.”
Ucap Pak Ismail, dosen kampusku yang sedang bersamaku di salah satu kantin
kampus sembari menyeruput secangkir kopi bersama. Ya, kami berdua sudah sangat
akrab, semenjak aku menjadi kating (ketua tingkat) kelasku 1 tahun yang lalu.
Rain berasal dari MAN ternama di
Balikpapan. Ia bertubuh tinggi, berkacamata, warna kulit sawo matang, memiliki
pipi yang tembem menurut
teman-temannya, dan memakai khimar yang menutupi hampir seluruh badannya. Terkadang
khimar yang sering ia kenakan itu berwarna biru tua, dan itu termasuk warna
kesukaanku. Sikapnya yang baik dan santun membuat semua teman-temannya, kakak
kelasnya, hingga dosen-dosen yang pernah menemuinya itu senang dan bahagia, tak
terkecuali aku. Tapi dibalik itu semua, Rain juga sering bertingkah lucu dan
konyol saat bercanda dengan teman-temannya. Yang paling membuat teman-temannya
Rain itu gemes itu disaat Rain
melawak dengan wajah yang polos, yang sering membuat satu kelas tertawa
terpingkal-pingkal hingga dosen kelas sebelah mendatangi kelasnya. Disinyalir,
Rain menyukaiku. Dan aku sempat kaget dengan gosip itu namun nampaknya bagiku
itu sudah biasa, karena dari SMA sudah terbiasa dengan cinta dibalik lumpia
risoles seperti itu.
Namun ada 1 hal yang aku sukai
dari Rain, yaitu jiwa sastranya yang bisa dibilang menyaingi sastrawan sekelas
Tere Liye. Setiap hari ada-ada saja di media sosialnya ia memposting kutipan
hingga cerpen karyanya sendiri, tak jarang ia juga menerbitkan beberapa artikel
tertentu hingga koleksi kisah di blognya. Rain juga aktif di beberapa website
yang isinya tentang kumpulan cerpen, sebut saja whatpad.com dan cerpenku.com.
Nampaknya Rain tahu apa yang aku
lakukan setelah sholat shubuh, sehingga ia baru membalasnya sekitar jam 6 pagi.
Aku yang sedang menikmati sejuknya udara dingin serta hamparan sinar matahari
terbit dari teras masjid memulai percakapan bersama Rain. Rain menyapa
duluan.
Rain: Kak, gimana kabarnya?
Aku: Alhamdulillah, baik. :)
Rain: Liburannya gimana kak?
Aku: Menyenangkan kok dek. \:D/
Rain: Serius nih kak? Terus postingan kakak selama liburan ini kok kayak
nampak gelisah gitu? *sambil mengirim screenshot beberapa postinganku*
Aku: Eh buset, ngapain segala pake di SS begitu dek? Kan, ketahuan sudah.
-_-
Rain: Hehe, Rain kan tukang kepo. :V
Aku: Hmm, iyelaah. Terbaiklah engkau,
Rain: Nanti lagi ya kak, Rain mau ke pasar untuk masak nanti di rumah.
Aku: Eh, ngga
sambil kakak temenin lagi kayak kemarin-kemarin dek?
Rain: HP Rain rusak kak habis kecebur di kloset, iyyeeekk jangan dihayalin kak!
Terus Rain online di laptop deh.
Aku: Siapa juga yang mau ngayalin yang begituan. Sudah, pergi sana. Jadi
calon istri itu kudu rajin dong, jangan online mulu.
Rain: UUUUUUUUUU KAKAK NGASIH KODE KERAS YAA KE RAIN??????
Aku: Ngga dek, terlalu mainstream ngasih kode keras ke adek.
Obrolan pun berakhir, lagi-lagi
aku melihat kutipan bijak dari Rain sebelum ia berangkat ke pasar untuk membeli
bahan masakan. Keren, aku pun ingin seperti dia yang pandai dalam merangkai
kata. 35 menit setelah obrolan berakhir, aku pun mulai beranjak pulang ke
rumah.
Setelah sholat Dhuha,
“Kak Iqbaaal, uuuuu sedaap lho.” Pesan dari Rain sambil mengirim foto hasil
masakannya sendiri.
Aku sedang termenung di rumah
karena tidak bisa bergerak dengan bebas, untungnya ada Rain yang menemani aku
lagi di tengah kesepian jiwaku sekarang ini. Obrolan pun dimulai lagi,
Aku: Kirim via JNE boleh?
Rain: Boleh, tapi Rain ngga bertanggung jawab ya kalo makanannya habis duluan
sebelum sampai ke tujuan. :V
Aku: Ngelawak aja terus dek.
Rain: Eh, nuduh Rain segala. Kakak tuh yang mancing duluan.
Aku: Iyaa sih, maafkeun.
Rain: Btw, keluarga kakak ngga support ya dengan keislaman kakak?
Aku: Bener dek,
Rain: Dan parahnya, kakak udah ngga berkutik lagi dalam menasehati mereka ya?
Aku: Bener dek, tapi ngga usah tambahin “parahnya” juga kali.
Rain: Kakak pasti KZL banget ya?
Aku: Vanget, dek.
Rain: Mau Rain tunjukin cara untuk ngeluarin unek-unek kakak?
Aku: Mau dek. Gimana caranya?
Rain: Eits, tapi bukan sekarang. Nanti ba’da dzuhur kakak pantau aja
postingan Rain di timeline yaw.
Aku: Wah, dengan senang hati kakak menunggu dek.
Rain: Eleh, bilang aja kakak ngga mau nunggu. Hayoo ngaku!
Aku: -Pesan ditarik-
Yah, sayangnya harus menunggu
hingga waktu dzuhur tiba. Tapi tidak mengapa, semoga bisa dapat jalan
keluarnya.
Ba’da dzuhur (tepatnya setelah
membaca Al-Qur’an), aku pun melihat postingannya di timeline. Dan benar saja
isinya mengarah kepadaku.
Udah kesel banget ya? Menulis aja, kakak. | Paling kerasa kalo unek-unek dikeluarkan itu dalam bentuk cerpen.
Masih awam dalam merangkai kata? Mungkin ini salah kakak. | Karena sudah lama tidak bertamu dengan perpustakaan umum di tempat kakak.
Kakak tau? Dibalik lembaran-lembaran karya pengarang dalam bukunya, | mengandung 99 makna dan sajak yang bermacam-macam penafsirannya.
Mungkin ini agak-agak berat untuk dilakukan, | namun menjadi bermanfaat sekali dalam mengisi waktu luang.
Nih, bonus dari Rain: https://rainarinarianiar,blokspot,com/tips-biar-dekat-dengan-buku-sedekat-gebetan-dulu
Aku memberi like kepada postingannya, ingin berterimakasih lewat komentar namun
teman-temannya lebih dulu berkomentar dan mengaitkan postingan ini denganku. Menulis?
Cerpen? Ya Allah, seumur-umur belum pernah aku menulis cerpen karena
keinginanku sendiri. Terakhir menulis cerpen karena tugas, itupun masih bermodal copy-paste dari internet. Tapi nampaknya
ungkapan Rain kali ini benar, aku sudah terlalu jauh dari buku. Hatiku mulai
bergerak, mencari jalan terang yang selama ini diidamkan. Ya, nampaknya aura
jiwa ini mulai bergerak untuk membuat cerpen untuk pertama kalinya.
Setelah membaca postingannya ini,
aku pun pergi ke perpustakaan umum yang tidak jauh tempatnya dari masjid.
Membaca beberapa buku sastra yang terkenal dan yang legendaris, hingga
mengulanginya agar bisa memahami dengan baik bagaimana caranya agar suatu
kalimat itu dapat menarik seseorang dan memamerkan seninya. 1 jam berlalu, aku
pun mulai mencoba membuat cerpen sendiri. Dengan bermodalkan komputer umum
milik perpustakaan dan koneksi internet aku mulai menulis apa saja yang sedang
menjadi polemik dalam batinku. Ya, perjalananku dalam menulis cerpen belum
habis sampai disini. Tapi ini masih berada di awal pergerakan dalam menentukan
masa depan yang lebih baik lagi. Selamat datang penulis cerpen pemula!
Komentar